Selasa, 06 Juli 2010

Naskah Drama : "CINTA SEGITIGA"

Nama : Sulastri Gustina
Nim : 2007112085
Kelas : 6.C


Naskah Drama (RAbu, 7 JUli 2010)



Pagi yang indah dan cerah, sesuai dengan suasana hati Satria karena, hari ini Satria akan pergi jalan-jalan dengan Vany pacarnya baru nya. Satria adalah seorang cowok yang ganteng dan manis, yang kuliah di salah satu Universitas di Palembang, yang mempunyai 2 orang pacar, hari ini Dia akan bertemu dengan pacar barunya Vany.
Sebelum mereka jalan, Satria menelepon Vany.
Satria : “hai… sayang, lagi ngapain??
Vany : “hai juga cinta, neh lagi mau Sarapan
Satria : yank… jadikan kita ntar sore kita jalan-jalan??
Vany : jadi… kok ciin.. ntar tunggu ajah di taman.
Satria : oke… syank… met sarapan yah syank..
Vany : iya…. Cinta juga yah… love you
Satria : love you too syank.

Dan tiba sore harinya, mereka pun janjian di taman, Vany sudah datang lebih dulu di taman, tak lama kemudian barulah Satria datang.
Satria : “syank… da lama nunggu?
Vany : “gak… juga kok ciin..
Satria : “syank, kita makan dulu yuk, di kafe di sana
Vany : “yuk… ciin

Mereka pun pergi makan di kafe yang agak jauh dikit dari taman tempat mereka janjian, setelah selesai makan, mereka kembali lagi jalan-jalan di taman, menikmati suasana indah di taman, mereka pun kembali mengobrol lagi.
Vany : “cinta kuliah gak besok?
Satria : “kuliah syank, memang kenapa?
Vany : gak pa-pa kok cuma nanya ajah.
Satria : oohh… syank mau ngajak jalan apa?
Vany : cinta kan kuliah, jadi gak usahlah, cinta kuliah ajah.
Satria : oke.. deh kalau begitu, syank lihat pemandangan di sana bagus banget…
Vany : iya,,, ciin, bagus banget yah… kita foto-foto yuk..!!!
Satria : yuk… syank..

Mereka pun foto-foto di sana, dengan pemandangan yang bagus, membuat hasil dari foto-foto mereka menjadi sangat bagus, di tambah Sunset yang terlihat sempurna.
Setelah selesai berfoto-foto mereka jalan-jalan lagi mengelilingi taman, saat mereka sedang jalan-jalan, mereka bertemu Putri, Satria sangat terkejut pertemuan yang tidak sengaja ini tidak diharapkanya, karena Putri adalah pacar Satria juga, Satria pacaran sama Putri sudah 2 tahun.
Putri : “Satria….. kenapa disini?
Satria : “hemm… aku cuma, Cuma… jalan-jalan ajah kok.
Putri : “ooww… jalan-jalan ajah, ini siapa??
Vany : kenalin, VANY… pacar Satria.
Putri : “apa… PACAR…!!!! Satria, tolong jelasin sama aku semua ini sekarang juga.
Vany : memang kenapa sih??
Putri : udah… kamu diem ajah, biarin Satria ngomong dan ngejelasin ini semua.
Satria : oke… baik-baik aku jelasin, Vany memang pacar aku, dan Putri juga pacar aku. Aku udah 2 tahun pacaran sama Putri, aku jadian sama Vany baru 2 minggu.
Putri : ooohhh…. Pantesan ajah yah, selama 2 minggu ini kamu susah banget di ajak ketemu…!!!
Satria : maafin aku sayank… aku telah mengkhianati cinta kita.
Putri : oke… aku mau maafin kamu, asal kamu mengakhiri hubungan kamu sama Vany sekarang juga.
Vany : apa-apa’an ini… enak ajah, aku juga pacar Satria, biarkan Satria memilih siapa yang akan dia pilih.
Putri : oke… kalau gitu, Satria kamu sebagai seorang cowok harus bisa memilih mana yang terbaik dan yang benar-benar kamu cintai.
Satria : aku memilih…. Putri, karena Putri sudah lebih memahami aku, tidak mudah bagi ku menjalani hubungan selama 2 tahun dengan Putri, jadi Vany maafin aku kalau aku mengecewakan kamu, aku rasa hubungan kita belum terlalu jauh jadi kita akhiri saja sekarang, sekali lagi maaf…….!!!!
Vany : oke…. Aku maafin kamu, satu hal yang ingin aku bilang, kamu JAHAT…!!!
Dan putri pun pergi…
Satria : syank maaf kalau aku mengecewakan kamu, tapi aku janji gak bakalan kayak gini lagi…
Putri : iya.. aku maafin, aku pegang janji kamu….
Satria : makasih sayang…. Love you sayang
Putri : Love you too

Dan mereka pun pulang bersama-sama, Putri dengan hati yang lega dari masalah yang selama beberapa minggu mengganjal hatinya tentang kekasihnya ini, sedangkan di pikiran Satria, dia berpikir fotonya bersama Vany tadi adalah akhir dari hubungan mereka… mereka sama-sama saling meyakini bahwa akan saling setia…!!! ^_^

Naskah Drama : "Setan-Seta Berpesta"

Nama : Yuni Leswita
Nim : 2007112290
Kelas : 6.C


Naskah Drama (Rabu, 7 Juli 2010)

Di tengah permukiman penduduk di daerah pinggiran kota palembang hidup keluarga miskin yang kesehariannnya hanya bisa makan nasi beserta lauknya kerupuk dan kecap, sungguh mengenaskan. Mina dan Parmin sudah 8 tahun menikah dan di karunia 2 anak, yang tertua bernama Sita dan yang bungsu bernama Beno. Keluarga ini setiap harinya selalu bertengkar karena suaminya tidak mau bekerja dan Cuma bisa berpangku tangan di rumah, sedangkan istrinya selalu sibuk menjadi buruh tani, bagi siapa yang mau membersihkan kebunnya, Mina yang biasa bekerja di sawah penduduk yang mengupahnya.

Mina : “bapak ini apo kendaknya, anak kito ni bentar lagi nak masuk sekolah, cak mano dengan biaya dari mano kita nak ndapatkannyo”?
Parmin : “tunggu lah buk, bapak lagi nak nyari inspirasi”
Mina : “apo dak capek, setiap hari kotak-katik angko, menang idak, yang ado selalu kalah. Ingat pak lah tuo, bentar lagi masuk kubur”
Parmin : “ai…. Buk, tenang be kemaren lah hampir menang Cuma keliru sikok angko jadi kalah.
Mina : sudahlah pak, lah capek ibu ne, tiap hari begawe di kebon wong… cubolah bapak tu cari gawean, ini idak gawean nak milih, awak cuma tamat SD.
Parmin : “oi….. buk, besok bapak nak betarak di kuburan, jadi tenang bae anak kito pasti pacak masuk sekolah…
Mina : pak jangan nak ngajak gilo, lah tau itu dilarang agama, sudahlah cari gawean yang halal bae, jangan nak ngambek jalan pintas.
Parmin : “seru….!!!!!
Sita : buk, mintak duet, sita nak maen, 1000 be buk…
Mina : dak katek duet, nak makan hari ini be belum ado, mintak dengan bapak tu..!!!
Sita : pak mintak duet…
Parmin : kagek nak, bapak nak masang togel dulu, kalu menang nak berapo bae bpak kasih…
Sita : bapak ne, masang togel tu lah kepacakkan, sudah…pelit galo.
Mina : sita dimano adek kau, maen samo siapo dio?
Sita : dak tau jangan tanyo ke di aku carilah dewek…
Mina : ni anak masih kecik lah pacak nak marah-marah, dak katek sopan santun, cak itu apo ajaran ibuk, belajar ngomong tu…
Sita : nak ngapo kamu… aku katek wong tuo miskin.
Mina : ngomong lah lagi cak itu, ibuk tampar nian…



Malam hari nya Parmin menyampaikan maksud hatinya, dia pergi kekuburan dengan harapan mendapat berkah, sungguh perbuatan yang sangat dibenci Allah.
Parmin : “ permisi puyang, aku datang kesini dengan maksud mintak nomor… tolong beri petunjuknya…

Semalaman Parmin menunggu di kuburan, ketika pagi harinya Parmin bermimpi tentang menyabung ayamdan Parmin menang. Setelah bangun dan tidur Parmin baru ingat kalau dia tertidur di kuburan itu. Setelah pulang Parmin langsung membuka buku primbon, melihat sio ayam, dan Parmin langsung pergi ke tempat Wawan dengan maksud mau memasang togel.

Parmin : “Wan masang togel, nomor bagus, aku pasang 200.000 bae..
Wawan : ai… dapat ilham dari mano?
Parmin : dak usah kau tanyo, yang penting aku nak masang, jinggok kelah bae, sore ini pasti menang.
Wawan : cak yakin nian…
Parmin : pasti.

Parmin langsung pulang ke rumah, di rumah Cuma ada anaknya saja karena istrinya bekerja di sawah.
Parmin : sita buatke bapak kopi..
Sita : dak katek gulo.
Parmin : ngutang dulu, besok bayar.
Sita : malu pak, utang lah banyak, dibayar belum nak ngutang lagi.
Parmin : ibuk kau dimano?
Sita : di sawah.

Sorenya ternyata Parmin, menang akhirnya keluarganya kaya raya, Parmin membangun rumah yang sangat megah. Istrinya Parmin pun ikut lupa daratan, dia lupa bahwa harta yang di dapatnya, bukanlah riski yang halal, tetapi Parmin dan Mina tidak ambil pusing yang penting kaya.
Mina : “pak, beli mobil baru pak, ibu ngambokke tetanggo sebelah, luat nian ibu, tetanggo galak sok kayo, awak kayolah kito.
Parmin : beli buk, belilah galo apo yang ibu pengen.
Mina : siap pak, makasih yah…
Parmin : biaso bae buk

Menikmati kekayaan yang di dapat dengan cara yang tidak halal, maka mengabiskan dengan cepat, karena Parmin suami Mina mendadak kena serangan jantung dan masuk rumah sakit.
Mina : “dok, apa penyakit suami saya.
Dokter : “suami ibu terkena serangan jantung dan harus di rawat inap.
Mina : iya, dokter
Parmin : “buk, bapak sakit apo?
Mina : “dak papo cuma kecapekan bae.

Selama menginap di rumah sakit dan penyakit Parmin makin parah, akhirnya Parmin makin parah, akhirnya Parmin meninggal dunia, harta kekayaannya habis juga karena di gunakan untuk pengobatan

Cerpen : SI CULUN DAN KINCIR ANGIN

Cerpen (Rabu, 7 Juli 2010)

Oleh : Erna Yuliana
(Mahasiswi Univ.PGRI PLG, SEmester 6C)

Akhirnya, setelah sekitar dua bulan berlalu, kegiatan bengkel sastra yang diadakan di Balai Bahasa berakhir sudah. Banyak pengalaman dan kenangan terbingkai indah dari kegiatan tersebut. Peserta dari empat gendre yanga da dalam kegiatan bengkel sastra berkumpul dalam suatu ruangan bernuansa hijau, ditambah kehadiran sebuah kipas angin yang senantiasa menggeleng-geleng sedikit menyejukkan ruangan yang panas. Kotak berisi snack dan air mineral dibagikan kepada setiap peserta. Bingkisan pengganjal lapar dan haus itu diterima dengan suka cita. Sebagian besar siswa menerjemahkan perasaan itu dengan senyum lebar.
Namun, senyuman iini rasanya tidak berlangsung la. Soalnya, saat ini boleh jadi merupakan hari terakhir. Para peserta harus saling berpisah mengingat kegiatan Bengkel Sastra telah habis waktunya. Kata sambutan dari panitia kegiatan Bengkel Sastra terasa mengiris, mengiringi suasana perpisahan. Inilah kunjungan terakhir para siswa dalam mengikuti kegiatan Bengkel Sastra, yang secara tidak terasa sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sekelompok anak muda yang haus pengetahuan. Jabat tangan dan peluk hangat menambah haru suasana saat itu.
Masih teramat segar dalam ingatan awal kegiatan Bengkel Sastra itu. Dengan wajah kebingungan masing-masing peserta pada saat itu diminta memilih gendre mana yang akan diikuti selama dua bulan kedepan. Dari empat gendre yang ada, yaitu gendre Puisi, Gendre Teater, Gendre Musikalisasi Puisi, dan Gendre Cerpen, tercatat sekitar 30 orang mendaftar dalam Gendre Cerpen.
Sejak itu, dengan penuh antusias para peserta mengikuti kegiatan menulis cerpen. Tidak sedikit dari peserta yang ternyata memiliki bakat menulis, meskipun masih menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana, tema alakadarnya, dan plot kurang teratur. Maklumlah, semua masih dalam tahap belajar.
Dengan cara lesehan pada selembar emabal warna hijau bermotif bunga, papan tulis alakadarnya, kipas angin tua, serta sekotak snack dan air mineral, semua siswa menyimak khidmat setiap kata yang diucapkan pembimbing. Acara bengkel sastra itu sendiri dilaksanakan setiap Senin dan Rabu, mulai pukul 14.00 hingga pukul 16.00 WIB . ruangan yang digunakan Gendre Cerpen adalah salah sebuah ruangan di Gedung Balai Bahasa yang sehari-harinya difungsikan sebagai kantin.
Masih teramat segar pula dalam ingatan betapa sesak nafas kurasakan. Pembuluh darah terasa sempit. Kuncuran keringat membanjiri wajahku. Saat itu, terburu-buru aku berlari memasuki gedung Balai Bahasa. Kulihat manusia memadati sebuah ruangan di Gedung Balai Bahasa. Aku menyelinap masuk dalam barisan itu, barisan bak semut hitam mengiringi mendapatkan gula. Untunglah, meski dating terlambat akhirnya aku diterima juga menjadi siswa kegiatan Bengkel Sastra. Dengan hati bulat kupilih Gendre Cerpen, karena menulis cerita pendek merupakan hobi dan obsesiku sejak lama. Aku ingin menjadi penulis karya fiksi yang baik. Aku ingin menjadi cerpenis.
Para siswa Bengkel Sastra sedang sibuk mencari kelompok atau gendre pilihannya. Suasana kacau-balau. Bising. Langkah kakiku sempat terhenti. Saat itu aku lihat sosok laki-laki yang menarik perhatianku. Laki-laki itu belum kukenal sebelumnya. Penempilannya sangat mencolok mata. Sangat berbeda dengan peserta lain yang berpenampilan sederhana. Kaca mata hitam menutupi matanya. Rambutnya nyaris gundul, tapi dibagian atasnya ada tersisa rambut membentuk jambul. Jambul itu tak disisir dan kelihatan basah. Model itu sempat mengundang tawaku. Siswa lain juga kelihatan menahan senyum melihat gaya itu. Kemeja yang digunakannya berwarna pink bermotif bunga-bunga. Celananya Cubrai. Model itu jelas sudah out of date alias ketinggalan zaman. Kesanku saat itu, cowok itu culun.
Ternyata bukan hanya aku yang terganggu dengan penampilan eksentrik laki-laki itu. Samar-samar aku dengar percakapan siswa lain disampingku. Ternyata laki-laki culun itu tak lain adalah si Mario salah satu peserta bengkel sastra, meskipun culun namun otaknya tidak bisa diremehkan. Ia juga gagap kalau berbicara.
Gerbang yang terbuat dari batu itu berdiri kokoh menyambut kedatangan setiap pengunjung yang ingin melihat keindahan Taman Wisata Punti Kayu. Jalan beraspal merupakan akses utama untuk memasuki taman wisata ini.
Disamping jalan menurun berjajar pohon pinus yang menjulang tinggi dan berdaun runcing bak jutaan jarum. Daun-daun pinus itu seakan memberi kesempatan pada sinar matahari untuk masuk kecelah-celah daun. Satu persatu dari daun-daun itu lepas dari rantingnya, digiring oleh lembutnya hembusan angin. Perlahan-lahan daun itu jatuh kebumi bercampur dengan rerumputan dan menutupi akar-akar pohon.
Monyet-monyet bergelayutan diranting-ranting pohon. Merdunya alunan suara jangkrik meningkahi suara burung yang sesekali terdengar. Beberapa pondok kecil yang digunakan orang untuk melepas lelah dan bersantai makin menambah ramainya suasana di taman wisata itu.
Matahari bersinar terang mengirimkan udara panas yang membuatku gerah. Aku duduk sambil mdngibas-ngibaskan buku tipis sambil menunggu temanku yang masih berada di pintu gerbang Taman Wisata Puntikayu. Aku berjalan dirombongan paling depan.
Hari ini merupakan hari ke-4 kegiatan Bengkel sastra. Bila sebelumnya kegiatan dilakukan di Gedung Balai Bahasa, hari ini kegiatan dipindahkan ke Taman Wisata Punti Kayu. Ditaman ini, setiap gendre dibebaskan untuk memilih sendiri lokasi untuk digunakan. Gendre cerpen memilih lokasi disebidang lapangan rumput dibawah pohon karet dan akasia.
Pada hari itu si Mario penampilannya agak berbeda dari hari biasanya. Sebagian orang mengira kalau si culun Mario itu sombong, padahal memang ia agak sedikit pendiam dari yang lainnya. Tak hentinya Epan dan Yudi terus meledek Mario dengan penampilannya. Tapi Mario tak pernah ambil pusing dan tak pernah mengambil hati ledekan temannya. Tak Jarang Yudi sering bertingkah mengikuti gaya si culun Mario dengan aksi-aksi lucunya ynag kadang membuat semua orang terpingkal-pingkal dibuatnya, begitu juga dengan Epan. Yang lain hanya bisa berbelas kasihan melihat Mario yang selalu menjadi bulan-bulanan.
Usai sudah acara bengkel sastra itu, hari-hariku mulai terasa sepi. Sekarang kegiatanku hanya kuliah, belajar, dan membereskan tempat kosku, disebuah lorong becek ditengah kota Palembang yang akhir-akhir ini terasa panas.
Berkumpul bersama teman-teman di Balai Bahasa tiba-tiba menjadi sepotong kenangan manis, yang mungkin tidak akan terulang lagi dalam kehidupanku. Dan bila aku ingat Bengkel Sastra, aku ingat deretan wajah teman-teman di gendre Cerpen, aku juga ingat Mario, si Culun yang selalu jadi bulan-bulanan teman, tapi ia sendiri tak pernah marah menyaksikan dirinya dihina sedemikian rupa.
Suatu hari, ketika aku sedang bertamu kerumah teman, secara sekilas aku melihat wajah itu…wajah Mario, dihalaman dalam surat kabar mingguan. Saat kutatap foto itu, memeang benar adanya itu wajah Mario.
Dibawah foto itu terdapat judul berita : Anak Talangburuk Raih Hadiah Kincir Angin. Degan penuh minat kubaca habis berita tersebut.
Dari berita tersebut kuperoleh keterangan bahwa Mario, pelajar SMU yang tinggal di Talangburuk, Palembang, berhak mendapat hadiah Kincir Angin. Hadiah Kincir Angin diberikan secara rutin oleh Pemerintah Belanda bagi pelajar sekolah menengah dalam hal penulisan cerita pendek. Dengan cerita pendek berjudul “Kalung Kematian”, Mario berhasil mneyingkirkan 65 penulis cerpen dari seluruh dunia. Untuk prestasinya tersebut, Mario mendapat banyakk hadiah dan akan diundang mengunjungi Negeri Kincir Angin Belanda.
Berita Koran tersebut juga memaparkan, bahwa sebelum meraih prestasi tersebut Mario terbilang pengarang yang produktif. Ia banyak menulis puisi, cerita pendek, bahkan novel remaja. Dalam wawancaranya, Mario ditanya kenapa memilih menjadi pengarang? Mario mengatakan, karena ia tak pandai bicara. Ia gagap.
“Tak ada seorang pun didunia ini yang peduli dan mau menolongku. Kebanyakan orang malah lebih suka mempermainkan dan menghina. Tapi aku tak pernah tersinggung. Hinaan itu malah selalu kuingat, kukumpulkan, dan kujadikan inspirasi dari karya-karyaku”. Kata Mario dalam berita Koran itu.
Kuingat-ingat lagi wajah Mario. Sejak semula aku memang punya firasat si Culun itu bukan anak sembarangan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Yudi dan Epan membaca berita ini. Mereka pasti malu dan menyesal seumur hidupnya.






oooo TAMAT oooo

Puisi : "KESETIAAN"

Puisi
Karya : Erna Yuliana


Malam ini …
Gerimis dating lagi
Hadirkan utuh sosok bayangmu
Ada setetes ragu…
Datang mengganggu mimpiku
Masihkan setia yang ku titip dulu
Tetap utuh menemanimu ?
Lewat untaian kata ini
Ku kirim bisik suara hati ku
Bahwa setia dan rinduku
Masih tetap milikmu

Perjuangan Diujung Pena

Cerpen
Oleh : Erna Yuliana
(Mahasiswi Univ.PGRI PLG, Semester 6C)


Diterik mentari yang bersinar terang mengagungkan kehidupan yang indah, jembatan berdiri dengan kokoh melambangkan sebuah kota yang megah, berisikan barisan mobil berjejer dengan rapi. Inilah yang nampak dari kehidupan kota yang megah menggambarkan kehidupan negara yang sejahtera, namun tak pernah terlihat sosok tubuh mungil dibalik barisan besi yang membawa Koran dan menjajakkan barang dagangannnya.
“Koran….korannnn…Koran pak? Ada berita baru terhangat pak” begitulah teriakan cempreng dari tubuh mungil itu. Dengan lembut Budi membujuk para pengemudi susunan besi itu. Beginilah kehidupan yang selalu dilalui oleh Budi seorang pelajar dari sebuah sekolah yang terkemuka. Disela-sela waktunya untuk bermain dia habiskan dengan berjualan Koran, kehidupan dibawah garis kemiskinan memaksanya menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bekerja. “Korann…koran Pak? ” Namun tak ada yang menjawab teriakannya, suasana terik terus membuat tubuh kecilnya mendi keringat. “Budi istirahat dulu!” mendengarkan suara itu ia menoleh kebelakang, matanya mencirik sekeliling mencari sumber suara, melihat sosok tubuh itu segeralah bergegas Budi menghampirinya. “Ya…mpok. Ada apa mpok?” kamu nggak sekolah Budi? Ini kan sudah jam 12.” “Ya..mpok..makasih udah ngingetin” (sahut Budi), ingatlah Budi perihal sekolahnya, ia segera meletakkan barang dagangannya di warung Mpok Atik yang tak lain adalah tetangga sebelah rumahnya yang sangat peduli dengan Budi, karena ia juga sudah menganggap Budi sebagai anaknya sendiri. Kebetulan Mpok Atik juga berjualan disekitar pinggiran jalan tempat Budi menjajakkan korannya. Budi berlari menuju gubuk tua disela-sela megahnya bangunan mewah. Untuk mengganti pakaian dengan seragam putih abu-abunya. Tak lama Budi pun sudah rapi dan segera berangkat ke sekolahnya. Disekolah Budi tergolong anak yang pintar sampai ia mendapat beasiswa dari pmerintah hingga ke jenjang Perguruan Tinggi, walaupun ia hanya pedagang Koran ia bangga dan tak pernah merasa malu karena ia dapat membiayai keluarganya dari hasil menjual Koran. Semua orang saying dan bangga dengan Budi dan keuletannya. Tak hanya menjual Koran saja, tapi Budi sangat rajin membaca Koran-koran yang ia jual sehingga ia selalu tahu perkembangan yang ada dan informasi-informasi yang menambah pengetahuannya. Pengorbanan Budi tak sia-sia karena sekarang Budi telah berhasil menjadi orang sukses di dunia bisnis. Budi sekarang menjadi pengusaha Koran yang hebat. Banyak cabang nya yang telah ia kembangkan. Bahkan sekarang Budi menjadi tulang punggung bagi keluarganya.

"Bidadari Kereta Api"

Naskah Drama (Rabu, 07 Juli 2010)

Karya : Erna Yuliana
(Mahasiswi Univ.PGRI, Semester 6C)

Cerita ini adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi. Kisah ini juga berawal dari pertemuan sebuah keluarga dengan seorang gadis baik dan berhati malaikat, tepatnya terjadi disebuah stasiun kereta api di kota Palembang. Keluarga itu tak lain adalah keluarga Pak Diman, dengan anggota keluarganya dimana ada seorang istrinya bernama Marni, serta keempat anak-anaknya yang masih kecil dan ada pula yang sudah meranjak usia remaja. Pak Diman adalah keluarga yang bisa dibilang berekonomi lemah karena terlihat dari penampilan ia dan keluarganya yang seadanya. Sedangkan Adis adalah seorang gadis muda belia yang sangat ramah serta supel dalam bergaul , siapapun yang dekat dengannya pasti merasa senang bisa mengenal dan berteman dengan nya, tentunya itu karena sifatnya yang rendah diri dan “welcome” pada setiap orang. Adis tercatat sebagai salah satu mahasiswi Universitas Swasta di Kota Palembang, kebetulan malam itu Adis berniat untuk pulang ketempat asalnya yaitu kota Lubuk Linggau menemui orang tuanya yang menetap disana. Bertepatan pada malam itu juga ada keluarga Pak Diman yang akan berangkat ke Lubuk Linggau dengan kereta api yang sama dengan Adis. Dengan tergesa-gesa Pak Diman menggiring keluarganya menuju loket pembelian tiket kereta api yang akan berangkat pada malam itu khususnya jurusan Lubuk Linggau.

Pak Diman : “Ayo-ayo buruan buk, Ntar kita gak kebagian tiketnya lho”.
Bu Marni : “Ya…sabar lah pak!”
Pak Diman : “Pak, sya mau tiket kereta api yang tujuan Lubuk Linggau, untuk 6 orang. 2 untuk dewasa, terus yang 4 nya anak-anak. Masih ada kan Pak tiketnya? Harganya berapa pak untuk satu orang? ”
Petugas Loket : “Maaf pak, tiketnya udah nggak ada lagi, sudah habis semua, baik yang ekonomi, bisnis, maupun yang eksekutif. Gimana kalau bapak neik yang besok pagi aja? “
Pak Diman : “Gak bisa pak, saya harus malem ini juga berangkat kesana, penting pak gak bisa ditunda-tunda”.
Calok Kereta Api : “ Kenapa Pak?, ada yang bisa saya bantu ?”
Pak Diman : “Ya… Dek. Saya mau berangkat ke Lubuk Linggau tapi gak kebagian tiket.”
Calok Kereta Api : “Oh…kalo itu gak masalah saya bisa Bantu pak. Bapak naik saja keretany, terus biar saya yang jamin semuanya, bapak bayar aja uang tiketnya sama saya, dijamin bapak bisa sampe ketujuan dan berangkat naek kereta malam ini juga. Bapak kasih aja ke saya uang tiketnya seluruhnya Rp. 300.000 untuk 6 orang, satu orang Rp. 50.000.”
Pak Diman : “Wahh…mahal banget dek! Gak bisa kurang apa? Saya ini lagi gak ada uang dek, saya aja lagi kesusahan, jadi kalau bisa tolong dikurangi harganya ya! Saya Cuma pegang uang 200.000”.
Calok Kereta Api : “Ya udah naik saja dulu sama keluarganya! Keretanya sebentar lagi mau berangkat pak.”


Dengan tergesa-gesa Pak Diman beserta istri dan anaknya bergegas menaiki kereta tujuan Lubuk Linggau yang sebentar lagi akan segera diberangkatkan. Adis hanya focus menjadi penonton menyaksikan adegan itu. Setelah berada diatas kereta ternyata Adis memang berjodoh dengan keluarga itu. Tempat duduk Adis berdekatan dengan posisi duduknya keluarga Pak Diman. Hanya saja malangnya keluarga Pak Diman terpaksa harus duduk lesehan disela-sela lantai kereta hanya dengan beralaskan kardus bekas, karena mereka tidak dapat tiket. Si calok segera menagih uang pembayaran pada pak Diman, dan dengan segera Pak diman memberikan dua lembar uang kertas berjumlah Rp. 200.000,- pada calok tersebut. Sungguh tak ada belas kasihan calok itu memaksa meminta lebih, padahal Pak Diman sudah mengatakan hanya itu uang yang ada disakunya. Calok tetap memaksa dan mengancam keluarga Pak Diman untuk segera turun dari kereta kalau tidak menambahkan bayarannya.

Pak Diman : “Tolonglah dek…saya beneran gak punya uang lagi, tinggal uang ribuan inilah yang saya pegang.” (Pak Diman menunjukkan 4 lembar uang ribuan kertas yang sedikit lusuh dan terkepal).
Calok : “Ya sudahlah! Apa boleh buat.” (dengan kasar calok tersebut mengambil uang ribuan tersebut dari tangan Pak diman, dan buru-buru pergi meninggalkan keluarga itu).
Bu Marni : “Pak! Kok mas tadi nggak ngasih kita tiketnya, nanti kalau ditanya petugas kereta gimana? Nanti dikira kita gratisan, padahal kita kan udah ngeluarin uang banyak lho Pak! (Kata Bu Marni dengan polosnya).
Pak Diman : “Ya…ampun untung ibu ngingetin, bapak sampe lupa nanyain itu!” (sambil bergegas berlari Pak Diman menyusul langkah calok tersebut yang belum seberapa jauh dari keluarga itu. Dengan lemah lembut Pak Diman membicarakan masalah tiket tersebut).
Pak Diman : “Dek…Dek…! Maaf sebelumnya saya hanya mau nanyain masalah tiket. Takutnya nanti kami dikira gak bayaran naik keretanya.”
Calok : “Gak usah pake tiket lagi Pak. Saya jamin gak bakal ada masalah, saya sudah hubingi langsung petugasnya. Jadi bapak gak perlu khawatir. Pokoknya nanti kalau ditanya petugasnya bapak sebutin saja nama ini! (calok tersebut memberikan kopelan kertas kecil diatasnya tertulis nama “Darmanto”).
Pak Diman mulai legah setelah menenrima kopelan kecil tersebut sebagai pegangannya untuk sampai ketujuan dengan aman bersama keluarganya, meski tanpa tiket ditangannya. Pak Diman dengan mudahnya terpedaya oleh Si Calok brengsek itu. Ia memberikan kepercayaannya begitu saja, tanpa berfikir negatif sedikitpun. Pak Diman kembali bergabung dengan istri dan ke empat anaknya.

Bu Marni : “Gimana Pak? Udah dapet bukti pembayarannya?”
Pak Diman : “Udah beres semua buk.”

Dengan beralaskan kardus bekas pak Diman duduk bersama keluarganya dipinggiran jalan tempat perlewatan para penumpang kereta api lainnya. Adis hanya menyaksikan pemandangan itu dengan hati yang sedikit tak tega. Akhirnya adis pun tak bisa menahan diri untuk segera berkomunikasi dan menyapa keluarga itu.

Adis : “Maaf Pak…mau kemana ya? Kenapa kok bisa dapet duduk dilantai?”
Pak Diman : “Ya beginilah nak namanya juga gak kebagian tiket, gak apa-apalah yang penting nyampe ketujuan.”
Bu Marni ; “Ya…dek, berangkatnya juga gak disengaja kok. Kalau gak kerena dapet musibah kami juga gak mungkin bisa berangkat ke Linggau, orang buat makan aja susah, apa lagi buat beli tiket kereta! Ini aja bisa ada uang dapet pinjem sama tetangga. Abisnya gak bisa kalau gak kesana. Ibu saya meninggal tadi sore!. (dengan jujur Bu Marni menguraikan permasalahan yang dialaminya).
Adis : “ Innalillahi Wainnalillahi Roji’un” (sahut Adis dengan wajah sedihnya seolah ikut merasakan apa yang dirasakan keluarga Pak Diman).

Tuttttt….tuuuuttt….suara kereta apai mulai terdengar dan itupun menandakan kereta mulai berjalan menuju kota Lubuk Linggau. Akhirnya tibalah pada tahap pemeriksaan tiket setiap penumpang oleh kondektur yang bertugas pada malam itu didampingi petugas keamanan lainnya sekitar 4 orang. Dan kondekturnya pada malam itu bernama Darmanto sama percis dengan nama yang tertera di kopelan Pak Diman. Dengan tegas dan wibawanya Bapak Kondektur menanyakan tiketnya pada setiap penumpang yang ada dikereta dan meminta agar memperlihatkannya dihadapan petugas. Tibalah pada giliran Adis.

Pak Darmanto : “Maaf Dek…bisa lihat tiketnya? Adek mau kemana tujuannya? ”
Adis : “Ini pak tiket saya, tujuan Lubuk Linggau.”
Pak Darmanto : “Makasih dek, silahkan disimpan lagi tiketnya ya!”.

Dengan keramahannya petugas menjalankan tugasnya, selanjutnya perhatian kembali tertuju kepada keluarga Pak Diman.

Pak Darmanto : “Maaf Pak…bisa ditunjukin tiketnya?”
Pak Diman : “Ini Pak! (pak Diman menyerahkan kopelan kertas pemberian calok itu).
Pak Darmanto : “ Apa ini Pak? Saya minta bapak nunjukin tiketnya, bukan kertas. Apa maksudnya ini, kertas dengan tulisan Darmanto? Bisa bapak jelaskan!
Pak Diman : “Begini pak, tadi saya mau beli tiket tapi kebetlan diloket habis, jadi saya udah bayar sama orang yang katanya bisa ngurus keberangkatan saya sampe ke Linggau. Sya udah bayar Pak sama orang itu dan sebagai ganti tiketnya dia Cuma ngasih kopelan ini, katanya kalau ditanya tiket tunjukin aja kopelan ini, karena orang yang namanya adala dikopelan inilah yang akan bertanggung jawab samapai kami tiba di Linggau, dia udah konfirmasi dengan petugas yang namanya ada di kertas ini. Begitu pak ceritanya!.” (beber Pak Diman kepada Pak Kondektur).
Bu Marni : “Iya bener pak, tadi kami udah bayaran kok sama adek yang nganter kami tadi.”
Ke empat orang anak Pak Diman terlihat tegang dan ketakutan dengan para petugas tersebut. Pak Diman menguraikan dengan sedetail-detailnya dan ia berkata jujur apa adanya. Kondektur sedikit kesal dan mulai menampakkan emosinya, karena namanya yang ada dikopelan itu sudah disalah gunakan.

Pak Darmanto : “Bapak tau siapa nama yang ada dikertas itu? Dan yang mana orangnya? Apa bapak juga tau siapa orang yang sudah ngasih bapak kopelan ini? Berapa uang yang sudah bapak kasih ke orang itu ?
Pak Diman : “Kalau sama orang itu saya nggak kenal pak! Pokoknya saya percaya aja, terus nama yang ada dikopelan itu saya juga nggak tau yang mana petugasnya. Saya tadi udah bayar 200 ribu sama orang itu pak.
Pak Darmanto : “Bapak bisa baca? Coba bapak baca nama yang ada dibaju saya! (perintah kondektur dengan tegas, sangat jelas nama Darmanto terpampang didada kanan kondektur itu, Pak Diman hanya terbengong heran).
Pak Darmanto : “Saya rasa bapak tau kalau bapak sudah ngelakuin kesalahan, saya yang bernama Darmanto! Dan itu artinya bapak sudah melakukan pelanggaran dengan tidak memiliki tiket resmi, melainkan malah berhubungan dengan calok. Bapak tau sendiri kan sanksinya, bapak akan diturunkan dari kereta api ini. Saya tidak sedikitpun menerima uang atau kontak dari orang yang bapak maksud.”

Pak Diman hanya bisa terdiam dan tak berdaya, ia baru menyadari kalau ia telah ditipu mentah-mentah, uang 200 ribu hasil pinjaman dari tetangganya lenyap begitu saja. Kesedihan tak luput dari raut wajahnya. Ia memohon belas kasihan dari para petugas untuk dapat metolerir.

Pak Diman : “Maaf Pak, saya benar-benar gak tahu! Saya sendiri sudah tertipu, saya piker orang itu benar-benar bisa membantu saya dan menjamin keberangkatan saya sampai ketujuan”.
Pak Darmanto : “Begini pak, saya hanya menjalankan tugas saya sebagaimana mestinya, dan saya berusaha menerapkan disiplin kerja diperusahaan Kereta Api ini. Bagi siapa saja yang melanggar aturan pasti akan ditindak tegas, bukan Cuma kepada bapak sanksi ini diberikan, tapi bagi penumpang lainnya juga yang melakukan hal serupa tetap akan diberi sanksi yang sama.”
Pak Diman : “Tapi pak tolong jangan turunkan saya dan keluarga saya, saya harus tetap ke Lubuk Linggau pak. Orang tua istri saya meninggal besok sudah harus dimakamkan, jadi kalau bisa kami ingin melihat jenazah orang tua kami untuk terakhir kalinya, saya mohon pak kemurahan hati bapak, saya tahu kami sudah melakukan kesalahan besar, dan saya janji ini tidak akan terulang lagi.”
Bu Marni : “Ya Pak, tolonglah kami! Kami lagi dapet musibah pak! (timpal Bu Marni).

Mata Adis sempat berkaca-kaca menyaksikan kejadian itu, seandainya hal itu menimpa keluarganya sungguh tak dapat ia bayangkan betapa tragisnya. Akhirnya Pak Kondektur memberikan solusi.

Pak Darmanto : “Baiklah…kalau begitu bapak boleh tetap menjalankan perjalanan, tetapi syaratnya bapak tetap harus membayar uang seharga tiket sebagaimana mestinya yang sudah menjadi kewajiban bapak. Bagaimana?”
Pak Diman : “Waduuhh….gimana ya pak! Jujur saya sudah nggak pegang uang sepeser pun pak! Tadi semuanya udah abis saya kasih sama orang itu, malah uang ribuan saya juga diembat sama orang itu.”
Pak Darmanto : “Ya kalau begitu saya sudah gak bisa ngasih jalan keluar lain lagi, terpaksa bapak dan keluarga bapak harus kemi turunkan distasiun kecil pertama yang dilewati oleh kereta ini, itu demi kedisiplinan diperusahaan kami.”
Pak Diman : “Tolong pak…kasihani kami, kasihani anak istri saya pak! Kami sudah gak punya uang sepeser pun!”

Adis akhirnya gerah melihat kejadian yang menyedihkan itu, batinnya seakan menjerit jika ia tetap berdiam diri. Ia pun mulai angkat bicara.

Adis : “Maaf Pak Kondektur, bapak ini gek bohong! Saya menyaksikan semua kejadian yang dialami bapak ini dan keluarganya, ulai dari ia menuju loket sampai ia bertemu dengan calok preman tersebut. Dan saya rasa pak Diman ini nggak salah karena dari awalnya memang beliau sudah memenuhi kewajibannya untuk membeli tiket, hanya saja tiketnya habis, jadi terpaksa Pak Diman mengambil jalan pintas untuk tetap sampai ketujuan karena ada musibah. Apa bapak tidak bisa memberi toleransi sedikit saja buat keluarga Pak Diman ini, kasihan pak mereka lagi tertimpa musibah.
Pak Darmanto : “Kalau boleh tahu, adek ini ada hubungan apa dengan keluarga ini?”
Adis : “Saya memang gak ada hubungan apa-apa pak, bahkan saya baru bertemu malam ini juga dengan keluarga Pak Diman. Tapi saya sangat kasihan dengan apa yang dialami Pak Diman dan keluarganya. Gimana kalau ini terjadi dengan keluarga bapak atau[un dengan keluarga saya juga???”
Pak Darmanto : “Saya menghargai maksud adek, saya bukannya gak toleransi atau gak punya nurani, tapi ini kewajiban saya menjalankan tugas sebagaimana peraturan yang ditetapkan”. Bukankah tidak adil dan professional jika saya pilihj-pilih dalam menindak tegas setiap penumpang yang melanggar aturan. Lagipula tadi saya sudah kasih solusi, tapi tetap tidak bisa dipenuhi. Dengan berat hati terpaksa keluarga ini tetap harus diturunkan distasiun yang pertama dilewati, masih untung tidak diturunkan ditengah hutan. (Cetus kondektur itu).

Pembicaraan antara Adis dan Kondektur membuat yang laiinya terdiam khusuk mendengarkan. Pak Diman, Bu Marni, dan ke empat orang anaknya hanya pasrah dengan apa yang akan mereka alami. Dua orang anaknya yang masih kecil sempat menangis karena merasa takut dengan situasi dikereta malam itu. Penumpang lainnya hanya diam sebagai penonton setia kisah cerita tersebut. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa merasakan iba melihat nasib Pak Diman dan keluarganya. Tanpa disangka dan diduga Adis muncul sebagai bidadari berhati mulia dimalam itu.

Adis : “Ya sudah pak, kalau begitu biarlah keluarga pak Diman tetap melanjutkan perjalannya, saya yang akan urus administrasinya dengan bapak.”
Pak Darmanto : “Adik memang anak yang baik, saya salut dengan gadis seperti kamu, jarang ada di jaman sekarang ini! Kalau begitu adek keruangan dibagian belakang kereta ini!”.

Padahal Adis masih berstatus sebagai mahasiswi, tapi ia rela menguras habis sakunya untuk membantu keluarga Pak Diman. Dan Adis juga bukan dari keluarga yang berada. Tapi sungguh mulia hati gadis itu apalagi mengingat usianya yang masih muda, sesutu yang patut menjadi teladan.

Adis : “Bapak yang tenang ya, biar saya yang urus semuanya!, gak usah terlalu dijadikan beban pikiran ya pak!”
Pak Diman : “Terima kasih banyak ya nak, bapak nggak tau harus bagaimana membalas kebaikan kamu” (sambil berlutut dihadapan Adis Pak Diman terus mengucapkan kata terima kasih).
Bu Marni : “Makasih banyak ya dek! Oh…ya sebenernya nama adek siapa sih? Dari tadi udah ngobrol tapi nggak tau namanya, bahkan udah jadi dewi penolong kami”.
Adis : “Nama saya Adis buk! Ibu gak usah memuji berlebihan, apa salahnya saya Bantu selagi saya bisa”.
Bu Marni : “Ibu hanya bisa do’a in semoga kebaikan dek Adis dapat imbalan yang setimpal dari yang diatas, dan makin dimurahkan riskinya. Aminn”.
Pak Diman : “ya nak Adis, bapak dan semua keluarga bapak jadi banyak terhutang budi sama nak Adis, sekali lagi makasih banyak ya nak.”
Adis : “sama-sama pak, saya juga senang kok bisa Bantu sesama yang lagi kesusahan”.

Akhirnya rasa persaudaraan terjalin diantara gadis baik itu (Adis) dengan keluarga pak Diman yang malang. Spontan pelukan penuh arti dari Bu Marni langsung mendekap erat tubuh Adis. Adis merasa mempunyai keluarga baru yang sangat menyayanginya. Perjalanan Pak Diman dan kelurganya berjalan mulus.
Itulah akhir dari cerita ini yang berakhir dengan dramastis.


oooo TAMAT oooo