Selasa, 06 Juli 2010

Cerpen : SI CULUN DAN KINCIR ANGIN

Cerpen (Rabu, 7 Juli 2010)

Oleh : Erna Yuliana
(Mahasiswi Univ.PGRI PLG, SEmester 6C)

Akhirnya, setelah sekitar dua bulan berlalu, kegiatan bengkel sastra yang diadakan di Balai Bahasa berakhir sudah. Banyak pengalaman dan kenangan terbingkai indah dari kegiatan tersebut. Peserta dari empat gendre yanga da dalam kegiatan bengkel sastra berkumpul dalam suatu ruangan bernuansa hijau, ditambah kehadiran sebuah kipas angin yang senantiasa menggeleng-geleng sedikit menyejukkan ruangan yang panas. Kotak berisi snack dan air mineral dibagikan kepada setiap peserta. Bingkisan pengganjal lapar dan haus itu diterima dengan suka cita. Sebagian besar siswa menerjemahkan perasaan itu dengan senyum lebar.
Namun, senyuman iini rasanya tidak berlangsung la. Soalnya, saat ini boleh jadi merupakan hari terakhir. Para peserta harus saling berpisah mengingat kegiatan Bengkel Sastra telah habis waktunya. Kata sambutan dari panitia kegiatan Bengkel Sastra terasa mengiris, mengiringi suasana perpisahan. Inilah kunjungan terakhir para siswa dalam mengikuti kegiatan Bengkel Sastra, yang secara tidak terasa sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari sekelompok anak muda yang haus pengetahuan. Jabat tangan dan peluk hangat menambah haru suasana saat itu.
Masih teramat segar dalam ingatan awal kegiatan Bengkel Sastra itu. Dengan wajah kebingungan masing-masing peserta pada saat itu diminta memilih gendre mana yang akan diikuti selama dua bulan kedepan. Dari empat gendre yang ada, yaitu gendre Puisi, Gendre Teater, Gendre Musikalisasi Puisi, dan Gendre Cerpen, tercatat sekitar 30 orang mendaftar dalam Gendre Cerpen.
Sejak itu, dengan penuh antusias para peserta mengikuti kegiatan menulis cerpen. Tidak sedikit dari peserta yang ternyata memiliki bakat menulis, meskipun masih menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana, tema alakadarnya, dan plot kurang teratur. Maklumlah, semua masih dalam tahap belajar.
Dengan cara lesehan pada selembar emabal warna hijau bermotif bunga, papan tulis alakadarnya, kipas angin tua, serta sekotak snack dan air mineral, semua siswa menyimak khidmat setiap kata yang diucapkan pembimbing. Acara bengkel sastra itu sendiri dilaksanakan setiap Senin dan Rabu, mulai pukul 14.00 hingga pukul 16.00 WIB . ruangan yang digunakan Gendre Cerpen adalah salah sebuah ruangan di Gedung Balai Bahasa yang sehari-harinya difungsikan sebagai kantin.
Masih teramat segar pula dalam ingatan betapa sesak nafas kurasakan. Pembuluh darah terasa sempit. Kuncuran keringat membanjiri wajahku. Saat itu, terburu-buru aku berlari memasuki gedung Balai Bahasa. Kulihat manusia memadati sebuah ruangan di Gedung Balai Bahasa. Aku menyelinap masuk dalam barisan itu, barisan bak semut hitam mengiringi mendapatkan gula. Untunglah, meski dating terlambat akhirnya aku diterima juga menjadi siswa kegiatan Bengkel Sastra. Dengan hati bulat kupilih Gendre Cerpen, karena menulis cerita pendek merupakan hobi dan obsesiku sejak lama. Aku ingin menjadi penulis karya fiksi yang baik. Aku ingin menjadi cerpenis.
Para siswa Bengkel Sastra sedang sibuk mencari kelompok atau gendre pilihannya. Suasana kacau-balau. Bising. Langkah kakiku sempat terhenti. Saat itu aku lihat sosok laki-laki yang menarik perhatianku. Laki-laki itu belum kukenal sebelumnya. Penempilannya sangat mencolok mata. Sangat berbeda dengan peserta lain yang berpenampilan sederhana. Kaca mata hitam menutupi matanya. Rambutnya nyaris gundul, tapi dibagian atasnya ada tersisa rambut membentuk jambul. Jambul itu tak disisir dan kelihatan basah. Model itu sempat mengundang tawaku. Siswa lain juga kelihatan menahan senyum melihat gaya itu. Kemeja yang digunakannya berwarna pink bermotif bunga-bunga. Celananya Cubrai. Model itu jelas sudah out of date alias ketinggalan zaman. Kesanku saat itu, cowok itu culun.
Ternyata bukan hanya aku yang terganggu dengan penampilan eksentrik laki-laki itu. Samar-samar aku dengar percakapan siswa lain disampingku. Ternyata laki-laki culun itu tak lain adalah si Mario salah satu peserta bengkel sastra, meskipun culun namun otaknya tidak bisa diremehkan. Ia juga gagap kalau berbicara.
Gerbang yang terbuat dari batu itu berdiri kokoh menyambut kedatangan setiap pengunjung yang ingin melihat keindahan Taman Wisata Punti Kayu. Jalan beraspal merupakan akses utama untuk memasuki taman wisata ini.
Disamping jalan menurun berjajar pohon pinus yang menjulang tinggi dan berdaun runcing bak jutaan jarum. Daun-daun pinus itu seakan memberi kesempatan pada sinar matahari untuk masuk kecelah-celah daun. Satu persatu dari daun-daun itu lepas dari rantingnya, digiring oleh lembutnya hembusan angin. Perlahan-lahan daun itu jatuh kebumi bercampur dengan rerumputan dan menutupi akar-akar pohon.
Monyet-monyet bergelayutan diranting-ranting pohon. Merdunya alunan suara jangkrik meningkahi suara burung yang sesekali terdengar. Beberapa pondok kecil yang digunakan orang untuk melepas lelah dan bersantai makin menambah ramainya suasana di taman wisata itu.
Matahari bersinar terang mengirimkan udara panas yang membuatku gerah. Aku duduk sambil mdngibas-ngibaskan buku tipis sambil menunggu temanku yang masih berada di pintu gerbang Taman Wisata Puntikayu. Aku berjalan dirombongan paling depan.
Hari ini merupakan hari ke-4 kegiatan Bengkel sastra. Bila sebelumnya kegiatan dilakukan di Gedung Balai Bahasa, hari ini kegiatan dipindahkan ke Taman Wisata Punti Kayu. Ditaman ini, setiap gendre dibebaskan untuk memilih sendiri lokasi untuk digunakan. Gendre cerpen memilih lokasi disebidang lapangan rumput dibawah pohon karet dan akasia.
Pada hari itu si Mario penampilannya agak berbeda dari hari biasanya. Sebagian orang mengira kalau si culun Mario itu sombong, padahal memang ia agak sedikit pendiam dari yang lainnya. Tak hentinya Epan dan Yudi terus meledek Mario dengan penampilannya. Tapi Mario tak pernah ambil pusing dan tak pernah mengambil hati ledekan temannya. Tak Jarang Yudi sering bertingkah mengikuti gaya si culun Mario dengan aksi-aksi lucunya ynag kadang membuat semua orang terpingkal-pingkal dibuatnya, begitu juga dengan Epan. Yang lain hanya bisa berbelas kasihan melihat Mario yang selalu menjadi bulan-bulanan.
Usai sudah acara bengkel sastra itu, hari-hariku mulai terasa sepi. Sekarang kegiatanku hanya kuliah, belajar, dan membereskan tempat kosku, disebuah lorong becek ditengah kota Palembang yang akhir-akhir ini terasa panas.
Berkumpul bersama teman-teman di Balai Bahasa tiba-tiba menjadi sepotong kenangan manis, yang mungkin tidak akan terulang lagi dalam kehidupanku. Dan bila aku ingat Bengkel Sastra, aku ingat deretan wajah teman-teman di gendre Cerpen, aku juga ingat Mario, si Culun yang selalu jadi bulan-bulanan teman, tapi ia sendiri tak pernah marah menyaksikan dirinya dihina sedemikian rupa.
Suatu hari, ketika aku sedang bertamu kerumah teman, secara sekilas aku melihat wajah itu…wajah Mario, dihalaman dalam surat kabar mingguan. Saat kutatap foto itu, memeang benar adanya itu wajah Mario.
Dibawah foto itu terdapat judul berita : Anak Talangburuk Raih Hadiah Kincir Angin. Degan penuh minat kubaca habis berita tersebut.
Dari berita tersebut kuperoleh keterangan bahwa Mario, pelajar SMU yang tinggal di Talangburuk, Palembang, berhak mendapat hadiah Kincir Angin. Hadiah Kincir Angin diberikan secara rutin oleh Pemerintah Belanda bagi pelajar sekolah menengah dalam hal penulisan cerita pendek. Dengan cerita pendek berjudul “Kalung Kematian”, Mario berhasil mneyingkirkan 65 penulis cerpen dari seluruh dunia. Untuk prestasinya tersebut, Mario mendapat banyakk hadiah dan akan diundang mengunjungi Negeri Kincir Angin Belanda.
Berita Koran tersebut juga memaparkan, bahwa sebelum meraih prestasi tersebut Mario terbilang pengarang yang produktif. Ia banyak menulis puisi, cerita pendek, bahkan novel remaja. Dalam wawancaranya, Mario ditanya kenapa memilih menjadi pengarang? Mario mengatakan, karena ia tak pandai bicara. Ia gagap.
“Tak ada seorang pun didunia ini yang peduli dan mau menolongku. Kebanyakan orang malah lebih suka mempermainkan dan menghina. Tapi aku tak pernah tersinggung. Hinaan itu malah selalu kuingat, kukumpulkan, dan kujadikan inspirasi dari karya-karyaku”. Kata Mario dalam berita Koran itu.
Kuingat-ingat lagi wajah Mario. Sejak semula aku memang punya firasat si Culun itu bukan anak sembarangan. Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Yudi dan Epan membaca berita ini. Mereka pasti malu dan menyesal seumur hidupnya.






oooo TAMAT oooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar