Selasa, 06 Juli 2010

"Bidadari Kereta Api"

Naskah Drama (Rabu, 07 Juli 2010)

Karya : Erna Yuliana
(Mahasiswi Univ.PGRI, Semester 6C)

Cerita ini adalah kisah nyata yang benar-benar terjadi. Kisah ini juga berawal dari pertemuan sebuah keluarga dengan seorang gadis baik dan berhati malaikat, tepatnya terjadi disebuah stasiun kereta api di kota Palembang. Keluarga itu tak lain adalah keluarga Pak Diman, dengan anggota keluarganya dimana ada seorang istrinya bernama Marni, serta keempat anak-anaknya yang masih kecil dan ada pula yang sudah meranjak usia remaja. Pak Diman adalah keluarga yang bisa dibilang berekonomi lemah karena terlihat dari penampilan ia dan keluarganya yang seadanya. Sedangkan Adis adalah seorang gadis muda belia yang sangat ramah serta supel dalam bergaul , siapapun yang dekat dengannya pasti merasa senang bisa mengenal dan berteman dengan nya, tentunya itu karena sifatnya yang rendah diri dan “welcome” pada setiap orang. Adis tercatat sebagai salah satu mahasiswi Universitas Swasta di Kota Palembang, kebetulan malam itu Adis berniat untuk pulang ketempat asalnya yaitu kota Lubuk Linggau menemui orang tuanya yang menetap disana. Bertepatan pada malam itu juga ada keluarga Pak Diman yang akan berangkat ke Lubuk Linggau dengan kereta api yang sama dengan Adis. Dengan tergesa-gesa Pak Diman menggiring keluarganya menuju loket pembelian tiket kereta api yang akan berangkat pada malam itu khususnya jurusan Lubuk Linggau.

Pak Diman : “Ayo-ayo buruan buk, Ntar kita gak kebagian tiketnya lho”.
Bu Marni : “Ya…sabar lah pak!”
Pak Diman : “Pak, sya mau tiket kereta api yang tujuan Lubuk Linggau, untuk 6 orang. 2 untuk dewasa, terus yang 4 nya anak-anak. Masih ada kan Pak tiketnya? Harganya berapa pak untuk satu orang? ”
Petugas Loket : “Maaf pak, tiketnya udah nggak ada lagi, sudah habis semua, baik yang ekonomi, bisnis, maupun yang eksekutif. Gimana kalau bapak neik yang besok pagi aja? “
Pak Diman : “Gak bisa pak, saya harus malem ini juga berangkat kesana, penting pak gak bisa ditunda-tunda”.
Calok Kereta Api : “ Kenapa Pak?, ada yang bisa saya bantu ?”
Pak Diman : “Ya… Dek. Saya mau berangkat ke Lubuk Linggau tapi gak kebagian tiket.”
Calok Kereta Api : “Oh…kalo itu gak masalah saya bisa Bantu pak. Bapak naik saja keretany, terus biar saya yang jamin semuanya, bapak bayar aja uang tiketnya sama saya, dijamin bapak bisa sampe ketujuan dan berangkat naek kereta malam ini juga. Bapak kasih aja ke saya uang tiketnya seluruhnya Rp. 300.000 untuk 6 orang, satu orang Rp. 50.000.”
Pak Diman : “Wahh…mahal banget dek! Gak bisa kurang apa? Saya ini lagi gak ada uang dek, saya aja lagi kesusahan, jadi kalau bisa tolong dikurangi harganya ya! Saya Cuma pegang uang 200.000”.
Calok Kereta Api : “Ya udah naik saja dulu sama keluarganya! Keretanya sebentar lagi mau berangkat pak.”


Dengan tergesa-gesa Pak Diman beserta istri dan anaknya bergegas menaiki kereta tujuan Lubuk Linggau yang sebentar lagi akan segera diberangkatkan. Adis hanya focus menjadi penonton menyaksikan adegan itu. Setelah berada diatas kereta ternyata Adis memang berjodoh dengan keluarga itu. Tempat duduk Adis berdekatan dengan posisi duduknya keluarga Pak Diman. Hanya saja malangnya keluarga Pak Diman terpaksa harus duduk lesehan disela-sela lantai kereta hanya dengan beralaskan kardus bekas, karena mereka tidak dapat tiket. Si calok segera menagih uang pembayaran pada pak Diman, dan dengan segera Pak diman memberikan dua lembar uang kertas berjumlah Rp. 200.000,- pada calok tersebut. Sungguh tak ada belas kasihan calok itu memaksa meminta lebih, padahal Pak Diman sudah mengatakan hanya itu uang yang ada disakunya. Calok tetap memaksa dan mengancam keluarga Pak Diman untuk segera turun dari kereta kalau tidak menambahkan bayarannya.

Pak Diman : “Tolonglah dek…saya beneran gak punya uang lagi, tinggal uang ribuan inilah yang saya pegang.” (Pak Diman menunjukkan 4 lembar uang ribuan kertas yang sedikit lusuh dan terkepal).
Calok : “Ya sudahlah! Apa boleh buat.” (dengan kasar calok tersebut mengambil uang ribuan tersebut dari tangan Pak diman, dan buru-buru pergi meninggalkan keluarga itu).
Bu Marni : “Pak! Kok mas tadi nggak ngasih kita tiketnya, nanti kalau ditanya petugas kereta gimana? Nanti dikira kita gratisan, padahal kita kan udah ngeluarin uang banyak lho Pak! (Kata Bu Marni dengan polosnya).
Pak Diman : “Ya…ampun untung ibu ngingetin, bapak sampe lupa nanyain itu!” (sambil bergegas berlari Pak Diman menyusul langkah calok tersebut yang belum seberapa jauh dari keluarga itu. Dengan lemah lembut Pak Diman membicarakan masalah tiket tersebut).
Pak Diman : “Dek…Dek…! Maaf sebelumnya saya hanya mau nanyain masalah tiket. Takutnya nanti kami dikira gak bayaran naik keretanya.”
Calok : “Gak usah pake tiket lagi Pak. Saya jamin gak bakal ada masalah, saya sudah hubingi langsung petugasnya. Jadi bapak gak perlu khawatir. Pokoknya nanti kalau ditanya petugasnya bapak sebutin saja nama ini! (calok tersebut memberikan kopelan kertas kecil diatasnya tertulis nama “Darmanto”).
Pak Diman mulai legah setelah menenrima kopelan kecil tersebut sebagai pegangannya untuk sampai ketujuan dengan aman bersama keluarganya, meski tanpa tiket ditangannya. Pak Diman dengan mudahnya terpedaya oleh Si Calok brengsek itu. Ia memberikan kepercayaannya begitu saja, tanpa berfikir negatif sedikitpun. Pak Diman kembali bergabung dengan istri dan ke empat anaknya.

Bu Marni : “Gimana Pak? Udah dapet bukti pembayarannya?”
Pak Diman : “Udah beres semua buk.”

Dengan beralaskan kardus bekas pak Diman duduk bersama keluarganya dipinggiran jalan tempat perlewatan para penumpang kereta api lainnya. Adis hanya menyaksikan pemandangan itu dengan hati yang sedikit tak tega. Akhirnya adis pun tak bisa menahan diri untuk segera berkomunikasi dan menyapa keluarga itu.

Adis : “Maaf Pak…mau kemana ya? Kenapa kok bisa dapet duduk dilantai?”
Pak Diman : “Ya beginilah nak namanya juga gak kebagian tiket, gak apa-apalah yang penting nyampe ketujuan.”
Bu Marni ; “Ya…dek, berangkatnya juga gak disengaja kok. Kalau gak kerena dapet musibah kami juga gak mungkin bisa berangkat ke Linggau, orang buat makan aja susah, apa lagi buat beli tiket kereta! Ini aja bisa ada uang dapet pinjem sama tetangga. Abisnya gak bisa kalau gak kesana. Ibu saya meninggal tadi sore!. (dengan jujur Bu Marni menguraikan permasalahan yang dialaminya).
Adis : “ Innalillahi Wainnalillahi Roji’un” (sahut Adis dengan wajah sedihnya seolah ikut merasakan apa yang dirasakan keluarga Pak Diman).

Tuttttt….tuuuuttt….suara kereta apai mulai terdengar dan itupun menandakan kereta mulai berjalan menuju kota Lubuk Linggau. Akhirnya tibalah pada tahap pemeriksaan tiket setiap penumpang oleh kondektur yang bertugas pada malam itu didampingi petugas keamanan lainnya sekitar 4 orang. Dan kondekturnya pada malam itu bernama Darmanto sama percis dengan nama yang tertera di kopelan Pak Diman. Dengan tegas dan wibawanya Bapak Kondektur menanyakan tiketnya pada setiap penumpang yang ada dikereta dan meminta agar memperlihatkannya dihadapan petugas. Tibalah pada giliran Adis.

Pak Darmanto : “Maaf Dek…bisa lihat tiketnya? Adek mau kemana tujuannya? ”
Adis : “Ini pak tiket saya, tujuan Lubuk Linggau.”
Pak Darmanto : “Makasih dek, silahkan disimpan lagi tiketnya ya!”.

Dengan keramahannya petugas menjalankan tugasnya, selanjutnya perhatian kembali tertuju kepada keluarga Pak Diman.

Pak Darmanto : “Maaf Pak…bisa ditunjukin tiketnya?”
Pak Diman : “Ini Pak! (pak Diman menyerahkan kopelan kertas pemberian calok itu).
Pak Darmanto : “ Apa ini Pak? Saya minta bapak nunjukin tiketnya, bukan kertas. Apa maksudnya ini, kertas dengan tulisan Darmanto? Bisa bapak jelaskan!
Pak Diman : “Begini pak, tadi saya mau beli tiket tapi kebetlan diloket habis, jadi saya udah bayar sama orang yang katanya bisa ngurus keberangkatan saya sampe ke Linggau. Sya udah bayar Pak sama orang itu dan sebagai ganti tiketnya dia Cuma ngasih kopelan ini, katanya kalau ditanya tiket tunjukin aja kopelan ini, karena orang yang namanya adala dikopelan inilah yang akan bertanggung jawab samapai kami tiba di Linggau, dia udah konfirmasi dengan petugas yang namanya ada di kertas ini. Begitu pak ceritanya!.” (beber Pak Diman kepada Pak Kondektur).
Bu Marni : “Iya bener pak, tadi kami udah bayaran kok sama adek yang nganter kami tadi.”
Ke empat orang anak Pak Diman terlihat tegang dan ketakutan dengan para petugas tersebut. Pak Diman menguraikan dengan sedetail-detailnya dan ia berkata jujur apa adanya. Kondektur sedikit kesal dan mulai menampakkan emosinya, karena namanya yang ada dikopelan itu sudah disalah gunakan.

Pak Darmanto : “Bapak tau siapa nama yang ada dikertas itu? Dan yang mana orangnya? Apa bapak juga tau siapa orang yang sudah ngasih bapak kopelan ini? Berapa uang yang sudah bapak kasih ke orang itu ?
Pak Diman : “Kalau sama orang itu saya nggak kenal pak! Pokoknya saya percaya aja, terus nama yang ada dikopelan itu saya juga nggak tau yang mana petugasnya. Saya tadi udah bayar 200 ribu sama orang itu pak.
Pak Darmanto : “Bapak bisa baca? Coba bapak baca nama yang ada dibaju saya! (perintah kondektur dengan tegas, sangat jelas nama Darmanto terpampang didada kanan kondektur itu, Pak Diman hanya terbengong heran).
Pak Darmanto : “Saya rasa bapak tau kalau bapak sudah ngelakuin kesalahan, saya yang bernama Darmanto! Dan itu artinya bapak sudah melakukan pelanggaran dengan tidak memiliki tiket resmi, melainkan malah berhubungan dengan calok. Bapak tau sendiri kan sanksinya, bapak akan diturunkan dari kereta api ini. Saya tidak sedikitpun menerima uang atau kontak dari orang yang bapak maksud.”

Pak Diman hanya bisa terdiam dan tak berdaya, ia baru menyadari kalau ia telah ditipu mentah-mentah, uang 200 ribu hasil pinjaman dari tetangganya lenyap begitu saja. Kesedihan tak luput dari raut wajahnya. Ia memohon belas kasihan dari para petugas untuk dapat metolerir.

Pak Diman : “Maaf Pak, saya benar-benar gak tahu! Saya sendiri sudah tertipu, saya piker orang itu benar-benar bisa membantu saya dan menjamin keberangkatan saya sampai ketujuan”.
Pak Darmanto : “Begini pak, saya hanya menjalankan tugas saya sebagaimana mestinya, dan saya berusaha menerapkan disiplin kerja diperusahaan Kereta Api ini. Bagi siapa saja yang melanggar aturan pasti akan ditindak tegas, bukan Cuma kepada bapak sanksi ini diberikan, tapi bagi penumpang lainnya juga yang melakukan hal serupa tetap akan diberi sanksi yang sama.”
Pak Diman : “Tapi pak tolong jangan turunkan saya dan keluarga saya, saya harus tetap ke Lubuk Linggau pak. Orang tua istri saya meninggal besok sudah harus dimakamkan, jadi kalau bisa kami ingin melihat jenazah orang tua kami untuk terakhir kalinya, saya mohon pak kemurahan hati bapak, saya tahu kami sudah melakukan kesalahan besar, dan saya janji ini tidak akan terulang lagi.”
Bu Marni : “Ya Pak, tolonglah kami! Kami lagi dapet musibah pak! (timpal Bu Marni).

Mata Adis sempat berkaca-kaca menyaksikan kejadian itu, seandainya hal itu menimpa keluarganya sungguh tak dapat ia bayangkan betapa tragisnya. Akhirnya Pak Kondektur memberikan solusi.

Pak Darmanto : “Baiklah…kalau begitu bapak boleh tetap menjalankan perjalanan, tetapi syaratnya bapak tetap harus membayar uang seharga tiket sebagaimana mestinya yang sudah menjadi kewajiban bapak. Bagaimana?”
Pak Diman : “Waduuhh….gimana ya pak! Jujur saya sudah nggak pegang uang sepeser pun pak! Tadi semuanya udah abis saya kasih sama orang itu, malah uang ribuan saya juga diembat sama orang itu.”
Pak Darmanto : “Ya kalau begitu saya sudah gak bisa ngasih jalan keluar lain lagi, terpaksa bapak dan keluarga bapak harus kemi turunkan distasiun kecil pertama yang dilewati oleh kereta ini, itu demi kedisiplinan diperusahaan kami.”
Pak Diman : “Tolong pak…kasihani kami, kasihani anak istri saya pak! Kami sudah gak punya uang sepeser pun!”

Adis akhirnya gerah melihat kejadian yang menyedihkan itu, batinnya seakan menjerit jika ia tetap berdiam diri. Ia pun mulai angkat bicara.

Adis : “Maaf Pak Kondektur, bapak ini gek bohong! Saya menyaksikan semua kejadian yang dialami bapak ini dan keluarganya, ulai dari ia menuju loket sampai ia bertemu dengan calok preman tersebut. Dan saya rasa pak Diman ini nggak salah karena dari awalnya memang beliau sudah memenuhi kewajibannya untuk membeli tiket, hanya saja tiketnya habis, jadi terpaksa Pak Diman mengambil jalan pintas untuk tetap sampai ketujuan karena ada musibah. Apa bapak tidak bisa memberi toleransi sedikit saja buat keluarga Pak Diman ini, kasihan pak mereka lagi tertimpa musibah.
Pak Darmanto : “Kalau boleh tahu, adek ini ada hubungan apa dengan keluarga ini?”
Adis : “Saya memang gak ada hubungan apa-apa pak, bahkan saya baru bertemu malam ini juga dengan keluarga Pak Diman. Tapi saya sangat kasihan dengan apa yang dialami Pak Diman dan keluarganya. Gimana kalau ini terjadi dengan keluarga bapak atau[un dengan keluarga saya juga???”
Pak Darmanto : “Saya menghargai maksud adek, saya bukannya gak toleransi atau gak punya nurani, tapi ini kewajiban saya menjalankan tugas sebagaimana peraturan yang ditetapkan”. Bukankah tidak adil dan professional jika saya pilihj-pilih dalam menindak tegas setiap penumpang yang melanggar aturan. Lagipula tadi saya sudah kasih solusi, tapi tetap tidak bisa dipenuhi. Dengan berat hati terpaksa keluarga ini tetap harus diturunkan distasiun yang pertama dilewati, masih untung tidak diturunkan ditengah hutan. (Cetus kondektur itu).

Pembicaraan antara Adis dan Kondektur membuat yang laiinya terdiam khusuk mendengarkan. Pak Diman, Bu Marni, dan ke empat orang anaknya hanya pasrah dengan apa yang akan mereka alami. Dua orang anaknya yang masih kecil sempat menangis karena merasa takut dengan situasi dikereta malam itu. Penumpang lainnya hanya diam sebagai penonton setia kisah cerita tersebut. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa merasakan iba melihat nasib Pak Diman dan keluarganya. Tanpa disangka dan diduga Adis muncul sebagai bidadari berhati mulia dimalam itu.

Adis : “Ya sudah pak, kalau begitu biarlah keluarga pak Diman tetap melanjutkan perjalannya, saya yang akan urus administrasinya dengan bapak.”
Pak Darmanto : “Adik memang anak yang baik, saya salut dengan gadis seperti kamu, jarang ada di jaman sekarang ini! Kalau begitu adek keruangan dibagian belakang kereta ini!”.

Padahal Adis masih berstatus sebagai mahasiswi, tapi ia rela menguras habis sakunya untuk membantu keluarga Pak Diman. Dan Adis juga bukan dari keluarga yang berada. Tapi sungguh mulia hati gadis itu apalagi mengingat usianya yang masih muda, sesutu yang patut menjadi teladan.

Adis : “Bapak yang tenang ya, biar saya yang urus semuanya!, gak usah terlalu dijadikan beban pikiran ya pak!”
Pak Diman : “Terima kasih banyak ya nak, bapak nggak tau harus bagaimana membalas kebaikan kamu” (sambil berlutut dihadapan Adis Pak Diman terus mengucapkan kata terima kasih).
Bu Marni : “Makasih banyak ya dek! Oh…ya sebenernya nama adek siapa sih? Dari tadi udah ngobrol tapi nggak tau namanya, bahkan udah jadi dewi penolong kami”.
Adis : “Nama saya Adis buk! Ibu gak usah memuji berlebihan, apa salahnya saya Bantu selagi saya bisa”.
Bu Marni : “Ibu hanya bisa do’a in semoga kebaikan dek Adis dapat imbalan yang setimpal dari yang diatas, dan makin dimurahkan riskinya. Aminn”.
Pak Diman : “ya nak Adis, bapak dan semua keluarga bapak jadi banyak terhutang budi sama nak Adis, sekali lagi makasih banyak ya nak.”
Adis : “sama-sama pak, saya juga senang kok bisa Bantu sesama yang lagi kesusahan”.

Akhirnya rasa persaudaraan terjalin diantara gadis baik itu (Adis) dengan keluarga pak Diman yang malang. Spontan pelukan penuh arti dari Bu Marni langsung mendekap erat tubuh Adis. Adis merasa mempunyai keluarga baru yang sangat menyayanginya. Perjalanan Pak Diman dan kelurganya berjalan mulus.
Itulah akhir dari cerita ini yang berakhir dengan dramastis.


oooo TAMAT oooo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar