Kamis, 03 Juni 2010

Kalimat Cinta

(Henny septirianti)

Di sudut kamar kecilku, aku tiduran sambil melamunkan kejadian kemarin.Ku tahu aku bodoh telah mengharapkannya. Bukankah itu adalah mimpi yang paling konyol? Aku jadi teringat, saat Dina meneleponku sore-sore. Dia menanyakan Adin, dia bilang kalau suka dengan Adin. Dan Tia juga ingin mengenal Adin lebih dekat melalui aku. Karena aku teman sekelasnya Adin. Bahkan Dina juga bertanya apakah suka dengan Adin. Sungguh aku bingung harus menjawab apa.
Sampai di situ lamunanku terhenti. Di pandangan Dina, juga teman-teman lain — bahkan mungkin termasuk Adin sendiri — aku tampak begitu acuh tak acuh terhadap cowok itu. Padahal sebenarnya, berpapasan dengan Adin saja dapat membuat hatiku menari dengan begitu gembiranya. Hanya, aku memang bukanlah Tia, Kania, Chyntia, atau siapa saja yang berani mengungkapkan perasaan dengan terus-terang. Aku lebih suka memendam rapat-rapat perasaanku.
Aku kemudian terdiam. Lama.
Aku jadi gelisah oleh kesadaran yang baru timbul. Kalau dari teman sekelas saja yang menyukainya sudah begitu banyak, bagaimana kalau jumlah yang sudah banyak itu masih harus ditambah oleh teman-teman dari kelas lain, juga adik-adik kelas? Tak tertutup kemungkinan, kan? Juga dari teman-temannya yang lain, tetangganya atau teman adiknya barangkali.
Segala harapanku memang mustahil! Seharusnya aku tahu itu. Aku terlalu jauh bermimpi. Punya keinginan sih, sah saja sebetulnya, tapi rasanya kali ini aku kelewat jauh.
***
Hup. Kuletakkan tumpukan buku tentang serangga yang kucari susah-payah di rak-rak. Heran, Bu Biologi kok mau-maunya baca satu per satu paper anak-anak tentang makhluk menakutkan itu. Atau barangkali di rumah beliau bahkan memelihara ya? Ups, aku menegur diriku sendiri. Kalau sampai kedengaran... bisa-bisa aku tinggal kelas!
"Hai, Hani, cari apa?"
Aku menoleh. Itu Helen, anak kelas sebelah. Gawat, semoga dia ingat ini perpustakaan. Sama seperti Dina, Helen menyenangkan tapi agak cerewet.
"Tugas Bio," sahutku singkat.
"Kurasa minggu depan giliran kelasku," keluhnya. "Tentunya paper, ya?"
"Yap." Aku mengangguk. Kulirik Helen duduk di sampingku yang memang ada kursi kosong.
"Eh, Adin sudah buat belum ya? Kamu sekelas dengannya, kan?"
"Yap. Tapi aku nggak tahu dia sudah bikin belum." Aku menjawab dengan sedikit perhatian. Tuh kan, anak kelas sebelah juga menaruh perhatian pada Adin. Helen juga. Cowok kece kenapa selalu gampang ketahuan? Lebih keren lagi, kenapa cowok kece bisa membuat cewek-cewek jadi aktif?
Barangkali zaman memang sudah berubah ya, dan aku saja yang masih ketinggalan. Lebih suka pura-pura cuek, padahal....
"Eh, Adin itu cakep, ya?" Helen berkata nyaris menyerupai bisikan.
"Yap. Semua bilang begitu," kataku sambil tetap menekuni buku-buku di hadapanku.
"Berwibawa. Ketua kelas, kan?"
"Yap."
"Jago basket... sudah punya pacar belum?"
"Yap. Eh, mana aku tahu?" Aku mengangkat bahu. Lagi-lagi, pura-pura cuek saja.
"Eh, itu dia!" Suara Helen berubah penuh semangat. Di sudut ruang, dari balik komputernya kulihat Bu Ratna yang petugas di sini mengacungkan telunjuknya sambil membelalakkan mata ke arah kami. (Kurasa aku berhak protes. Yang ribut kan Helen!)
"Dia kemari!"
"Sstt...." Kali ini aku yang memperingatkan Helen. (Biar Adin nggak curiga kalau aku sebetulnya juga ikutan histeris.)
"Kar, papernya sudah mulai buat?"
Ups. Kurasa jantungku berdetak dua kali lebih keras. Aku menggeleng. "Belum jadi."
"Itu bahan-bahan referensi, ya?" Adin menunjuk beberapa buku di atas meja di depanku.
"Ya." Helen yang menjawabkan untukku.
"Kalau sudah jadi boleh pinjam?"
"Eh?" Aku menaikkan kedua alisku. Kulihat Adin menatapku dengan sepasang matanya yang berbinar dan bagus.
"Papernya."
"Oh." Aku mengangguk, kikuk. "Tentu."
***
Besok paper Biologi ini dikumpulkan. Tadi siang di sekolah Adin mengembalikannya. Tugasku ini — seperti biasa — selesai lebih cepat. Aku memang bukan siswi yang suka menunda pekerjaan, dan kali ini kurasakan betul manfaatnya.
Aku membuka paperku dengan berjuta perasaan. Ah, kira-kira apa ya pendapat Adin tentang pekerjaanku ini? Ge-er dikit boleh kan kalau Adin yang cukup pintar itu sampai meminjam punyaku?
Aku mengerutkan kening tiba-tiba. Heran, biasanya dia jujur. Nggak suka nyontek, baik ulangan atau pe-er. Tapi kali ini kenapa minjem paper orang lain, ya? Aku bertanya-tanya sendiri.
Aku menutup paperku dengan gerakan lambat, benakku masih dipenuhi sosoknya yang menarik itu. Eh! Aku mengerutkan kening lagi. Ada selembar kertas yang jatuh.
Aku memungut kertas itu. Ada tulisan tangan di sana.

Boleh kan aku mengenal dan mencintaimu?
Adin.

Oh my gog !
Berulangkali kubaca sebait kalimat yang ditulis dengan teramat rapi itu. Aku hampir tak dapat mempercayainya. Jadi untuk itu Adin meminjam paperku?
Untuk menyelipkan pernyataan cintanya? S-u-k-a? Adin suka padaku?! Aku bertanya-tanya sendiri. Tapi, kenapa?
Beberapa saat kemudian baru aku menyadari kebodohanku. Tentu saja! Kalau aku bisa menyukainya, kenapa tak dapat terjadi sebaliknya? Apakah memang cinta perlu dipertanyakan?
Aku tersenyum manis dengan hati penuh asa berlimpah. Semua yang terjadi, bagiku bagaikan sebuah mimpi saja. Tapi seandainya memang benar hanya mimpi, sungguh, inilah mimpi paling indah yang pernah kualami.
----------------------------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar