Selasa, 22 Juni 2010

TAK ADA RUMAH IBU

Tubuh Rina hampir bersujud, merendahkan kepala ke lantai, mendesak Ibu. Dengan suara iba, “Tak ada cara lain, Bu. Rumah ini mesti di jual.” Sepasang mata kelabu Ibu berkaca-kaca. Perempuan keriput ini tak mau mengiyakan permintaan anak angkatnya. Ibu gugup dan serba salah. “Bukannya tak boleh”, tukas Ibu, “aku belum bisa melupakan kenangan tentang ayahmu di rumah ini”. Di rumah inilah ibu menetap berpuluh tahun bersama almarhum Ayah, sejak mereka hidup serba susah. Merawat Rina hingga perempuan itu menikah, punya dua anak, dan suaminya pergi begitu saja. Rina merantau ke kota. Dua anak yang di tinggalkan Rina, diasuh ibu. Kini Rina kembali dari rantau. Bukan untuk membahagiakan ibu. Bukan untuk melepas rindu pada kedua anaknya, Ia pulang untuk menjual rumah.
Tak mau menyerah, Rina terus saja merayu. Meminta ibu menjual rumah peninggalan Ayah. Tak dipedulikan lagi raut muka di wajah ibu. Ia mengguncang-guncang lutut Ibu, “Ini satu-satunya jalan, Bu, agar hidupku selamat.” “Kalau kau jual rumah ini, aku tinggal dimana ?” Tanya Ibu, dengan dipandangan yang kabur, mata yang kelabu. Raut wajahnya kusut, keriput, dan menghitam. “Biar ku pikirkan permintaanmu, besok pagi aku putuskan. “ Tertatih-tatih Ibu meninggalkan rumah, Ia bertahan untuk tak mengeluh, bersedih, atau menangis. Ia mencari ketetapan hati, dan berjalan ke arah kuburan. Lama Ibu berjongkok di sisi gundukan nisan Ayah. Mengenang saat mereka baru saja membeli rumah di kampung. Tanpa kehadiran anak, rumah terasa sangat sunyi.
Ketika tumbuh remaja, Rina yang diangkat anak sejak bayi selalu menyebabkan Ibu cemas. Rina malas datang ke sekolah. Suka keluyuran hingga larut malam, gemar berganti laki-laki yang dibawa pulang ke rumah. Rina selalu tak peduli dengan nasehat siapa pun. Ia lebih suka liar, memperturutkan kemauan dan perasaannya sendiri. Rina memilih kabur dari sekolah. Mendesak untuk Rina. Ia menyampaikan permintaan gadis itu pada Ayah, dan dijawab dengan begitu ringan,” Ya, nikahkan saja. Biar dia jadi bijak.”
Pertengkaran selalu mewarnai rumah tangga Rina dan Andre. Hampir tiap hari mereka saling caci. Telah lahir dua orang anak, lelaki dan perempuan. Ibu sering sekali mengeluh pada Ayah, tapi Ayah tenang-tenang saja. “ Biar mereka menyelesaikan persoalan sendiri. Kita tidak usah ikut campur.”
Ketika Andre meninggalkan rumah, Rina menjerit-jerit dan Ibu dicekam kecemasan. Ayah hanya tersenyum-senyum, seolah menghadapi permainan. Ayah tak pernah memperlihatkan kemarahan, kesedihan, atau murung berhari-hari. Ia menjalani kehidupannya seperti biasa, kehidupan lelaki tua pensiunan, berjalan-jalan pagi, minum kopi, merokok, baca Koran, dan menanti orang-orang lewat untuk diajaknya ngobrol. Dan tiba suatu hari, Rina memutuskan untuk meninggalkan rumah, pergi ke kota metropolitan, Ibu tak mengerti, apa yang dilakukan Rina agar bertahan hidup di rantau. Kenangan Ibu bakal hilang dari rumah ini. Ia berjalan sendirian ke makam. Mengajak bercakap-cakap Ayah seperti semasa hidup dulu.
Kemudian datang seorang pemuda, tetangga yang tinggal di ujung gang, berhasrat membeli rumah peninggalan Ayah. Pengusaha muda itu akan membayar rumah seperti harga yang diminta Rina. Tak menawar sedikitpun. “akan saya bayar rumah ini besok. Saya mohon rumah ini segera dikosongkan.” “tentu, malam ini kami berkemas-kemas,” tukas Rina.
Ibu tidak pernah membayangkan bakal meninggalkan rumah yang dibelinya dengan susah payah dengan suaminya. Dia juga tidak bisa menyesali masa lalu, mengambil Rina sebagai anak angkat yang hanya membuat persoalan demi persoalan menimpanya sepanjang hidup.
Sebuah mobil taksi datang. Rina dan kedua anaknya memasukkan seluruh koper, tas, dan benda-benda kesayangan mereka memenuhi bagasi. Tapi Ibu tak beranjak dari bawah pohon mangga. Rina membujuk, lama membujuk, dan jam keberangkatan kereta api yang bakal membawa mereka ke kota sudah dekat. Ibu tak mau bergerak. Wajahnya mengeras, tubuhnya kaku.
Rina memohon, berlutut, membujuk pada Ibu. Tapi Ibu berdiam diri, kaku, seperti patung kayu, yang sinis wajahnya. “pergilah ! Aku tak bisa bersamamu.”
Lalu, Ibu akan tinggal dimana ? “ “Bumi ini amat luas. Tak semestinya aku bersedih hanya soal tempat tinggal.”
Tergetar tubuh Rina meninggalkan Ibu. Taksi bergerak menjauhi pelataran rumah. Ibu masih tenang dibawah pohon mangga. Tetangga-tetangga yang melihat Ibu terpaku dibawah pohon itu, menawarkan kamarnya untuk ditempati perempuan keriput itu. Tapi Ibu menggeleng. Ia tetap duduk di bawah pohon mangga, hingga senja. Perempuan rapuh itu tertatih-tatih dalam kesendiriannya, membawa gulungan pakaian terbungkus kain, melangkah pelan-pelan. Banyak orang membujuk dan


menahan Ibu. Tapi perempuan keriput itu tak mau lagi mendengar. Ia terus berjalan dalam remang senja. Langkahnya menuju makam. Di dakinya jalan setapak, berhenti di makam suaminya. Ia rebahkan tubuhnya di lantai makam, seperti telah menempuh perjalanan begitu jauh. Begitu lama, dan begitu letih, Ia menemukan peristirahatan yang menentramkan di sisi suaminya.
Dalam gerimis malam, sang pengusaha menerima begitu banyak tetangga yang menggedor pintu rumahnya. Mereka mengabarkan Ibu yang memilih tinggal di kuburan, tidur di makam. Orang-orang memohon agar sang pengusaha menjemput Ibu, dan membujuk perempuan tua itu untuk meninggalkan makam. Sang pengusaha mengendarai mobilnya, memarkir di ujung jalan setapak ke makam. Tanpa payung, dalam gerimis, Ia bergegas menapaki jalan setapak yang licin. Dalam benaknya tersusun suatu permohonan lembut pada perempuan keriput itu, “ Ibu, pulanglah. Tempati situ rumah sampai kapan pun Ibu mau.”


Tema : Liku kehidupan seorang Ibu yang diterpa masalah.
Amanat : Menyampaikan bahwa, dalam menghadapi segala masalah sebaiknya diterima dengan hati yang sabar, dalam mengambil suatu keputusan sebaiknya dipikirkan terlebih dahulu, apakah tidak akan merugikan orang lain atau tidak. Sebaiknya dicerna terlebih dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar